Hukum Keadaan Darurat Subjektif dan Objektif
- 05 May 2021
Hukum Tata Negara Subjektif atau 'staatsnoodrecht' dalam arti subjektif adalah hak, yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari undang-undang dasar. Dalam banyak literatur, istilah ‘staatsnoodrecht' dalam arti subjektif ini biasa disebut “staatsnoodrechf saja, tanpa tambahan subjektif. Oleh karena itu, jika kita menemukan istilah “staatsnoodrechtdalam berbagai literatur, kita dapat memahaminya dalam konteks pengertian yang bersifat subjektif itu.
Kebiasaan demikian ini terus dipertahankan oleh para sarjana mengingat sumber dari 'staatsnoodrecht dalam arti subjektif itu adalah hak-hak asasi manusia yang pada mulanya merupakan hukum tidak tertulis yang bersandar pada hukum asasi sebagai hukum objektif. Namun demikian, karena pengaruh perkembangan aliran positivisme dan ajaran tentang negara hukum formil, barulah setelah itu berkembang istilah “staatsnoodrecht' dalam arti objektif.
Berbeda dengan pengertian hukum tata negara subjektif atau 'staatsnoodrecht' dalam arti subjektif yang merupakan hak negara untuk bertindak dalam keadaan darurat, maka yang dimaksud dengan 'staatsnoodrecht dalam arti objektif adalah hukum yang berlaku dalam masa negara berada dalam keadaan darurat itu. Sekarang ketentuan hukum yang masih berlaku dan mengatur mengenai keadaan bahaya atau keadaan darurat ini adalah ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Sebagai istilah, perkataan “staatsnoodrecht' dalam arti objektif ini merupakan antonim atau lawan perkataan dari 'staatsnoodrecht' (dalam arti subjektif) yang biasa dipakai secara luas dalam ilmu hukum tata negara. Istilah “staatsnoodrecht'objektif inilah yang oleh M.I. Prins diusulkan agar diubah dengan istilah “noodstaatsrechf’ karena yang diutamakan dalam 'staatsnoodrechf' objektif adalah keadaan daruratnya, Atau 'staat in nood'. Oleh karena itu, istilah “noodstaatsrecht' menurutnya lebih tepat untuk menggambarkan pengertian yang terkandung dalam berkataan 'staatsnoodrecht' dalam arti objektif itu. Keadaan bahaya atau 'nood dapat terjadi di mana saja, termasuk dapat terjadi hanya di suatu daerah tertentu saja. Jika keadaan bahaya itu timbul, meskipun hanya di daerah tertentu saja, hal itu sudah cukup memberikan alasan bagi negara untuk menjalankan hak subjektifnya untuk memberlakukan keadaan darurat atau 'staatsnoodrecht' dalam arti subjektif.
Dengan perkataan lain, istilah 'noodstaatsrechf atau "staatsnoodrecht dalam arti objektif merupakan hukum tata negara yang berlaku atau baru berlaku pada waktu negara berada dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, atau dalam keadaan genting. Dalam perkataan "noodstaatsrecht itu, Subjek utamanya adalah 'staatsrechf atau hukum tata negara, sedangkan dalam perkataan 'staatsnoodrecht (subjektif) subjek utamanya adalah “staatsnood”, keadaan darurat negara atau keadaan bahaya yang memberikan hak kepada negara untuk bertindak dalam mengatasinya. Hukum darurat negara itu dapat berupa hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, ataupun lapangan hukum perdata. Sementara itu, dalam istilah 'noodstaatsrechf' yang dibicarakan hanya hukum tata negara saja, yaitu hukum tata negara yang baru berlaku ketika negaraberada dalam keadaan darurat.
Dengan demikian, antara 'staatsnoodrecht' dalam arti objektif menurut istilah M.I. Prins dan "noodstaatsrech? Menurut istilah W.F. Prins, sama sekali tidak terdapat perbedaan yang substantif.
Sumber: Asshiddiqie Jimly (2008). Hukum Tata Negara Darurat. Rajawali pers