ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU
- 04 January 2022
Kita kembali ke pertanyaan: apakah Ilmu Hukum itu ilmu? Pertanyaan ini telah dipaparkan secara skematikal sebagai sebuah pertanyaan yang murni instrumental; orang menetapkan sebuah definisi dari “ilmu”, dan orang menggunakan definisi ini untuk dapat secara lebih baik menetapkan ciri-ciri dari Ilmu Hukum. Untuk tujuan ini telah dipilih untuk berpegangan pada sebuah definisi ilmu yang luas, yang dari sudut titik-pandang Filsafat Ilmu masih tampak plausibel atau masuk akal (lihat hal. 15).
Bagaimana Ilmu Hukum menautkan diri pada berbagai unsur dari definisi ini? Pada upaya untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, kita harus menampilkan kembali butir-butir yang sudah dibahas.
Kegiatan bertatanan (stelselmatige activiteit)
Sebagai sebuah spesialisme, Ilmu Hukum itu sudah sangat tua. Ia sudah pasti merupakan suatu kegiatan bertatanan (stelselmatig) yang dijalankan secara sadar. Orang berupaya mencapai “a body of knowledge” (seperangkat pengetahuan) yang dimiliki bersama, memiliki pengertian-pengertian, ajaran-ajaran dan prioritas-prioritas penelitian yang diakui, dengan menggunakan saluran-saluran sendiri untuk keperluan semua itu (jurnal bidang keahlian, seminar-seminar dan simposium-simposium, dsb.). Namun, pada pemaparan lebih jauh dengan cepat kita dikonfrontasi pada ciri-ciri spesifik. Kata-kuncinya di sini adalah kurangnya derajat otonomi (kemandirian) dari Ilmu Hukum sebagai ilmu; dengan kata lain: kenyataan bahwa Ilmu Hukum berada pada tataran yang sama dengan hukum itu sendiri, dalam aspeknya sebagai “ajaran”, sistem, dengan semua kekhasan dan relativitasnya dari kenyataan itu. Di satu pihak ia sudah memberikan kontribusi pada penetapan hukum, di lain pihak, pada saat yang sama pada berbagai aspeknya oleh realitas kemasyarakatan yang lebih luas itu, hukum, ia sendiri ditentukan mengenai statusnya, cara kerjanya, dan sebagainya. Hal itu sudah dimulai dengan ketergantungan institusional dari ilmu hukum. Ia (Ilmu Hukum) terlibat dalam suatu hubungan kerja-sama yang rumit dengan perundang-undangan dan peradilan (1.4), yang terkait padanya ia juga memperoleh penetapan titik-titik tolaknya, yang juga berpengaruh terhadap perkembangan hukum. Pengaruh tersebut, dipandang secara historikal, sangat bervariasi, dan ia juga berbeda-beda dari negara ke negara. Dalam derajat apa hukum itu adalah “ajaran”, berkaitan erat dengan bermacam ragam faktor. Baik Sejarah Hukum maupun Sosiologi Hukum di sini menemukan suatu tema yang sangat berguna. Suatu aspek lain yang di dalamnya Ilmu Hukum terbawa oleh sifat keilmuan-bidang-hukumnya ditentukan, adalah bahwa hal berupaya mencapai kesepakatan pada Ilmu Hukum memperoleh aksen ekstra. Bukankah hanya boleh ada satu hukum yang berlaku, orang harus menemukan penyelesaian-penyelesaian yang dalam keseluruhan tatanan adalah uniform. (Selain itu, di sini ketergantungan dari Ilmu Hukum tampil lagi mengintip di sudut: untuk uniformitas, dipandang secara institusional, maka perundang- undangan dan peradilan harus mengupayakannya.) Jika dalam Teori Ilmu kadang-kadang proliferasi (banyaknya) teori-teori dinilai sebagai faktor positif, maka halnya akan menjadi riskan (berbahaya, risky) jika ini juga dipertahankan berlaku untuk Ilmu Hukum.
Dengan suatu cara lain lagi dapat dikatakan bahwa Ilmu Hukum itu kurang otonom, karena bahan yang diolahnya dalam derajat yang kuat sudah diwarnai secara kemasyarakatan (socially tainted); hukum menghaluskan makna-makna yang di dalam masyarakat sudah ada dalam peredaran (3.4), dan ia, lebih secara umum, tidak dapat dipikirkan terlepas dari pandangan- pandangan keadilan kita yang secara historikal ber-evolusi.
Apakah orang dalam Ilmu Hukum dapat berbicara tentang “kemajuan” (vooruitgang)? Tidak, untuk penggunaan pengertian ini di sini tidak terdapat kriteria yang berlaku umum. Pertama- tama kita tidak dapat berbicara tentang suatu upaya untuk selalu menembus lebih mendalam ke dalam kenyataan yang secara berangsur-angsur membuka rahasia-rahasianya: walaupun sejak Einstein kita mengetahui sedikit lebih banyak tentang alam ketimbang sebelumnya, namun untuk “yang lebih banyak” itu dalam Ilmu Hukum tidak ditemukan ekuivalennya. (Bahwa Ilmu Hukum oleh pertumbuhan pengetahuan psikologikal, kriminologikal, sosiologikal telah diperkaya, namun hal itu tidak menyentuh atau menggugurkan dalil ini.) Bukankah di sini pengetahuan itu bersifat normatif, dan ditempatkan dalam suatu kerangka normatif. Pertanyaan apakah sesuatu seperti kemajuan itu ada, harus diajukan pada hukum sebagai keseluruhan dan pada masyarakat. Sekarang: apakah hukum itu terarah pada kemajuan? Tidak, antara “hukum” dan “kemajuan” tidak terdapat hubungan konseptual; lebih banyak antara “hukum” dan “penegakan kaidah”; tugas dari Ilmu Hukum terletak, dipandang berdasarkan optik ini, pada penegakan kaidah lewat penyesuaian kaidah pada keadaan-keadaan yang berubah, singkatnya pada kontinuitas. Sintesis antara “otoritas” dan “akal (nalar)”, berpikir sistemik dan berpikir problematik, di sini menemukan penjangkarannya. Mungkin sekarang orang akan mengatakan: ada kemajuan di dalam Ilmu Hukum karena ia, dalam kerja-sama dengan hakim dan pembentuk undang-undang, tiap kali memasukkan (menerapkan) gagasan-gagasan keadilan yang baru ke dalam hukum dan dengan cara itu berfungsi sebagai instrumen (sarana) untuk kemajuan. Namun, gagasan kemajuan yang dengannya orang bekerja sesungguhnya lebih diarahkan pada masyarakat sebagai keseluruhan ketimbang pada Ilmu Hukum sebagai demikian.
Sistematika.
Ilmu Hukum berupaya dari titik pandang konseptual mencapai suatu pengetahuan “arsitektonikal” yang memuaskan tentang wilayah kenyataannya. Tugasnya secara khusus terletak pada wilayah dari sistematika; Scholten, demikian sudah kita lihat, meletakkan titik-berat pada kesatuan dan kesederhanaan (2.2). Namun juga di sini fakta yang menentukan, bahwa ia berkenaan dengan “hukum sebagai ajaran”, dan dengan demikian berkenaan dengan suatu sistem yang membiarkan semua aspek problematikal dari hukum terolah di dalam perkembangannya sendiri. Jika kita menganggap sistematika disebabkan oleh penetapan tujuan-tujuan dasar (basisdoelstellingen) seperti regulasi perilaku yang koheren, keadilan formal atau hal dapat ditangani (6.1), maka penetapan tujuan-tujuan ini pada pengolahan lebih jauh menjadi “terbuka” bagi semua yang penting untuk penentuan lebih lanjut dari hukum in concreto yang tepat (6.2). Penataan sistematikal tiap kali lagi-lagi berada dalam proses pembentukannya, dan pengertian-pengertian yang digunakan orang adalah, sejauh menyangkut struktur mereka, sebagian besar ditata berlandaskan sifat berubah-ubahnya tersebut.
Pengujian.
Juga Ilmu Hukum mengenal, sebagai ilmu, kemungkinan pembakuan-ulang (herijking) dari putusan-putusan yang ia lakukan. Argumen-argumen yang digelar oleh ilmuwan hukum terbuka bagi kritik. Mereka dapat dilemahkan (ontkracht), atau dapat dikesampingkan untuk memberi tempat bagi argumen-argumen lain. Namun bagaimana, dari sudut titik-pandang landasan- landasan keberadaan dan metode-metode, pengujian ini persisnya terjadi, tidaklah begitu mudah untuk dipaparkan. Bukankah Ilmu Hukum itu berada dalam suatu relasi yang sangat spesifik terhadap obyek-telaahnya (3.3): pengetahuan tentang penerapan kaidah-kaidah yang tepat mengimplikasikan di satu pihak suatu penyelenggaraan kegiatan menilai (keuren) yang aktif, di lain pihak partisipasi, ikut ambil bagian pada suatu praktek bersama. Dalam konteks ini, apa arti “obyektivitas”, pada realitas apa (yang mana), yang menampilkan diri kepada para ilmuwan hukum, putusan-putusan ilmiah bidang ilmu hukum (rechtswetenschappelijke uitspraken) harus diuji? Dan cara-kerja apa, metode-metode apa, yang menawarkan suatu pegangan (aangrijpingspunt) untuk melaksanakan pengujian itu?
i. Nah sekarang, formulasi yang berdasarkannya juga Ilmu Hukum mengandaikan pengujian pada suatu realitas, yang menampilkan diri kepada para ilmuwan hukum secara bersama, hanya berfungsi sebagai ouverture (peralihan). Ia kini harus diinterpretasi ke dalam suatu arah tertentu. Tentang hal itu sudah terlebih ditunjukkan (sudah diantisipasi) dengan cara dalam definisi ilmu yang diusulkan (2.3) tidak berbicara tentang “kebenaran” (waarheid), melainkan tentang “ketepatan” (juistheid). Istilah “kebenaran” mensugestikan bahwa orang mengarahkan dirinya pada suatu kenyataan, ini seolah-olah berada dalam dirinya sendiri (terlepas dari pendapat-pendapat dan interpretasi-interpretasi kita) dan karena itu dapat berfungsi sebagai batu-uji bagi penilaian-penilaian kita; “benar” adalah sebuah putusan yang sesuai dengan kenyataan tatanan benda-benda itu sendiri. Dalam Filsafat, itu adalah juga teori klasik tentang hakikat dari kebenaran (yang dinamakan Teori Korespondensi). Namun, untuk Ilmu Hukum, instansi eksternal yang demikian itu tidak ada (bandingkan hal. 23 tentang induksi ilmiah bidang ilmu hukum). Ilmuwan hukum memang berhadapan dengan suatu masyarakat manusia tertentu, yang ke dalamnya ia sendiri termasuk – dikatakan secara lain: suatu masyarakat komunikatif tertentu dengan suatu bahasa tertentu dan titik-titik tolak yang dianut bersama. Masyarakat tertentu tersebut, sistem-nilai tertentu itu, mewujudkan tataran pendukung (draagvlak) untuk obyektivitas: apa yang diusulkan ilmuwan hukum, dalam suatu proses argumentasi, yang terhadapnya ia juga memberikan kontribusinya, diuji pada sistem-nilai tersebut. “Sistem-nilai” di sini sama dengan: keseluruhan dari premis-premis normatif (titik-titik tolak) yang dianut bersama dalam masyarakat tertentu itu, dan keseluruhan dari langkah-langkah berpikir (denkstappen) yang di dalam masyarakat tersebut diterima sebagai langkah-langkah yang mungkin untuk penerapan premis-premis tersebut (4.3). Pengujian itu hanya dapat terjadi dengan jalan orang seolah-olah mendorong sistem ini untuk bergerak. Argumentasi adalah sebuah proses, sebuah peristiwa, yang hasilnya tidak dapat diramalkan. Argumen-argumen harus dilepaskan yang satu dari yang lainnya, untuk dapat mengetahui apa harganya mereka di dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan berdasarkan sistem-nilai itu. Tidak ada seorang pun, secara individual, yang dapat menggantikan proses tersebut; kita selalu, juga, membutuhkan kebijakan dari orang-orang lain. Apa yang tepat diwujudkan atau ditimbulkan oleh pelibatan dari suatu dialog, dan tidak oleh suatu monolog. Jika orang di sini per se tetap ingin berbicara tentang “kebenaran”, maka hal itu tidak dapat dalam istilah-istilah dari suatu teori yang menganggap kebenaran sebagai kesesuaian dengan kenyataan tatanan dari benda-benda itu – kebenaran harus dipandang dalam arti dari kesepakatan, konsensus, sebagaimana hal itu juga di dalam Filsafat dipertahankan sebagai sebuah wawasan (visi) alternatif.
Orang akan mengatakan: istilah “sistem-nilai” di sini adalah suatu istilah yang berbahaya. Memang demikian halnya. Pertama-tama ia mensugestikan suatu keterikhtisaran (gambaran menyeluruh terikhtisar) yang sebenarnya tidak ada; apa yang ada dalam keyakinan-keyakinan, titik-titik tolak, sarana-sarana pikiran kita pada hasil akhir musyawarah bersama (gemeenschappelijke uitkomsten), hanya dapat, sebagaimana sudah dikatakan, dihasilkan dengan dialog itu sendiri. Kedua – dan itu adalah suatu keberatan yang lebih berbobot – sulit untuk dipastikan apakah kita memang memiliki suatu “sistem-nilai”, dalam arti bahwa di situ, dengan syarat bahwa tersedia cukup waktu dan perhatian (minat) untuk itu, memang dapat diraih hasil akhir bersama. Bukankah praktek menunjuk pada adanya perbedaan pendapat yang ternyata tidak dapat diatasi (diselesaikan) meskipun ada kehendak baik pada para mitra- wacana; penetapan tujuan yang kita miliki bersama sering pada dirinya sendiri atau pada penerapan mereka saling bertentangan (4.2); keraguan yang timbul pada penerapan hukum mengajukan argumen-argumen yang saling berhadapan (berlawanan) yang semuanya kurang lebih plausibel. Singkatnya, walaupun ada suatu kerangka referensi yang sama (tanpa kerangka demikian hukum itu sendiri akan tidak ada, juga menutup kemungkinan bagi suatu dialog), apa yang baru saja kita dengan itu memutari kenyataan (mengungkapkannya dengan model-model) untuk dapat hidup bermasyarakat ternyata tampak grofmazig (kasar, kerangka yang sangat umum) – kita tidak dapat menghindarkan diri dari keharusan melakukan pilihan, pengambilan putusan atas tanggung-jawab pribadi kita sendiri. Ya, jika hukum sebagai pranata menemukan tujuannya (its purpose, haar bestemming) dalam penciptaan jaminan-jaminan, bahwa akan dilakukan pengambilan putusan – pada pengambilan putusan ini tidak dapat dihindari melekat subyektivitas. Hal mengambil titik berdiri termasuk ke dalam realitas, yang di sini menjadi persoalan (3.4); dengan demikian, sejauh ini suatu hasil akhir yang berlaku umum dari pengujian itu tidak terjamin. Orang akan harus merasa puas dengan derajat kepastian dan kontinuitas yang relatif yang diperlihatkan oleh “kerangka-pikir” bersama kita, dan memang harus mempertahankan dan mengkultivasi (menumbuh-kembangkan) jaminan-jaminan institusional yang mengupayakan bahwa masalah-masalah tertentu dapat diselesaikan dengan cara-cara yang akseptabel. Jika orang tetap tidak puas dengan itu, maka orang ini sesungguhnya lebih memerlukan Inkuisitoir Agung (de Grootinquisiteur), agitator atau .... nabi.
ii. Metode ilmiah memungkinkan pengujian. Orang melihat kenyataan lewat metode ini. Jadi, relativitas atau kebermakna-gandaan dari pengujian kita pada kenyataan dimanifestasikan dalam metode itu. Apa yang menyangkut Ilmu Hukum: dalam jalur dari apa yang baru saja dikatakan tentang obyektivitas, metode ilmiah bidang ilmu hukum hanya memberikan suatu kerangka untuk proses-proses argumentasi, yang keberhasilannya tidak dapat dijamin (dipastikan). Meskipun demikian, orang seyogianya tidak menilai rendah kerangka ini. Betapa pun dinamisnya ia dilukiskan dalam buku ini -- berbicara secara global, hukum itu memantapkan diri pada tataran, yang di atasnya keyakinan-keyakinan bersama kita memiliki soliditas yang paling tinggi, yang paling kurang grofmazig. Dan hukum jelas menciptakan suatu ikatan spesifik: kaidah hukum menghendaki kepatuhan. Terhadap putusan-putusan dari yuris diletakkan suatu klaim oleh sumber-sumber otoritas, yang ia tidak dapat menegasinya (menyangkalnya) (6.1). Selanjutnya, argumentasi yuridikal mengenal ukuran-ukuran kualitas, yang berkaitan dengan upaya mencapai rasionalitas (4.4). Pertama-tama ukuran kemasuk-akalan (redelijkheidsmaatstaf), bahwa orang memang membuka diri untuk semua hal yang dapat dijelaskan berdasarkan titik-titik tolak bersama (6.2). Kemasuk-akalan di sini berarti, bahwa orang menawarkan kesempatan yang terluas pada obyektivitas, artinya memberikan daya-kerja yang maksimal pada proses argumentasi sebagai sarana pengujian. Keluasan dari argumentasinya, hal memperhitungkan semua bahan tersaji yang relevan, kelengkapan penelitiannya – semuanya itu memang adalah aspek rasionalitas yang melekat (tertanam, ingebouwd) dalam tiap ilmu. Kedua, argumentasi yuridik berupaya mencapai suatu sintesis (6.2) di antara berbagai kemungkinan argumentasi yang di dalam kejadian konkret menampilkan (menawarkan) diri, artinya di antara sumber-sumber otoritas yang melandasi argumen-argumen tersebut (6.1). Itu juga adalah satu aspek dari rasionalitas: upaya menemukan suatu pelandasan harmonius dari tindakan kita (4.2, 4.4). Hanya saja ini tidak pernah membawa pada suatu sistem tertutup; tegangan antara berpikir sistemik dan berpikir problematik tidak dapat kita elakkan.
Jadi sebuah kerangka, namun tidak lebih dari itu. Pengujiannya berlangsung pada akhirnya dalam dan oleh argumentasi sebagai proses, sebagai peristiwa. Argumen-argumen diuji yang satu terhadap yang lainnya (argumen apa yang ternyata argumen yang terkuat?) dengan dilatar-belakangi nilai-nilai yang dianut bersama. Persoalan pengujian di sini menunjuk pada Teori Argumentasi, pada suatu analisis atas berbagai cara yang berdasarkannya argumen- argumen, dengan disaling-konfrontasikan yang satu terhadap yang lainnya, dilemahkan, tuntutan (klaim) mereka direlatifkan, dan seterusnya. Untuk konfrontasi tersebut tidak ada sesuatu apapun yang dapat menggantikannya (konfrontasi tersebut tidak dapat ditiadakan); orang tidak dapat meramalkan hasil akhir dari dialog yang akan dijalankan, mengapa ia harus membutuhkan sesuatu yang lain? Dalam argumentasi, sebagai proses, terdapat suatu dinamika (4.2) yang pertama-tama harus memperoleh kesempatannya. Jadi, “metode” adalah: sesuatu yang dengan mengacu ukuran-ukuran digunakan orang untuk menjamin kemurnian dari pelaksanaan wacana atau percakapan (4.4). Titik beratnya diletakkan pada prosedur, pada kualitas dari wacana sebagai wacana.
Ukuran-ukuran kualitas dari argumentasi yuridik dan kemurnian dari proses argumentasi, yang baru saja dibahas, dapat dipandang sebagai sekian banyak aspek dari suatu akal-praktikal (nalar-praktikal, practical reason) yang dikemas dalam hukum (4.4), yang sebagian besar sejalan atau sama dengan tuntutan-tuntutan (syarat-syarat) dari ilmu. Namun, sebagaimana dikemukakan MacCormick[55]: kita juga harus berurusan dengan the limits of practical reason, dengan pembatasan-pembatasan atas rasionalitas. Nalar-praktikal hanya memberikan satu kerangka, dan tidak menjamin hasil akhir yang disepakati bersama. Ada suatu sisa (endapan) yang tidak dapat dihilangkan dari penentuan titik berdiri pribadi, dari subyektivitas, namun itu adalah sisa dari suatu subyektivitas yang terlebih dahulu sudah membukakan diri pada argumentasi dan telah berupaya untuk memperoleh kesepakatan dengan orang-orang lain. Sejauh mana kita pada penelaahan lebih jauh sepakat dengan orang lain, tidak akan pernah dapat kita ketahui tanpa wacana yang demikian itu. Kekurangan pada informasi, keterbatasan dari pengalaman pribadi kita, gambaran perspektivistik (perspectivistische vertekeningen), sebagaimana Langemeijer memformulasikannya,[56] hanya muncul di dalam dialog. Jika kemudian ternyata perbedaan-perbedaan pendapat, meskipun telah terjadi pemurnian penilaian kita, mungkin pada akhirnya tetap ada (mungkin dalam bentuk dipertajam), apakah itu merupakan bukti dari suatu “irrasionalitas” yang secara fundamental melandasi dunia hukum, moral dan politik? Tidak, istilah yang demikian itu hanya boleh digunakan, jika rasionalitas tidak boleh dipahami hanya sebagai upaya mencapai kepastian dan harmoni, melainkan juga sebagai tuntutan yang di sini dan sekarang boleh dibebankan pada kehidupan kita. Ya, jika demikian halnya maka kita menghapuskan dunia hukum, moral dan politik itu – namun mungkin juga sejumlah besar ilmu-ilmu! Tegangan antara sistem dan problem dengan demikian tidak dapat diterima, orang lari ke suatu utopia sientistikal atau utopia politikal. Kualifikasi “irrasional” justru harus kita reservasikan untuk hubungan yang dalam intinya atas nama kepastian-kepastian yang diandaikan wacana dengan orang-orang lain tidak dapat dilaksanakan lagi. Singkatnya, bahwa nalar praktikal tidak menjamin hasil akhir yang disepakati bersama, bukanlah suatu kekurangan yang harus disesalkan, yang karena itu boleh dilukiskan sebagai bernilai kurang, atau secara keseluruhan dapat disingkirkan. Bukankah dalam keadaan demikian itu keterbatasan manusia, yang tidak dapat ditiadakan itu, tampil ke permukaan. Dikatakan dengan ungkapan kuno: yang Benar dan yang Baik, kecuali cuci otak, tidak mewartakan diri kepada kita dalam seragam. Bahwa kita dapat sepaham mengenai demikian banyak hal, mungkin sudah cukup mempesona.
Sumber bacaan Buku Filsafat Ilmu Hukum Karya Arief Sidharta
Illustrtion from pinterest and belong to the owner
writer admin Sayap Bening Law Office