PENTINGNYA HUKUM ANGKASA BAGI INDONESIA
- 16 June 2021
Saat ini kegiatan antariksa yang berhubungan erat dengan Indonesia adalah pengoperasian satelit. Berdasarkan ketinggian, terdapat empat ruang bagi satelit di ruang angkasa, (GSO) adalah yang paling spesial mengingat periode rotasinya sama dengan bumi. Berada di ketinggian sekitar 35.787 km di atas garis khatulistiwa, satelit seolah olah membayangi suatu wilayah secara statis. Hal ini menjadikan GSO sangat vital bagi negara kepulauan untuk merajut jaringan komunikasinya.
Indonesia bersama Brazil, Ekuador, Kenya, Kolombia, Kongo, Uganda, dan Zaire sempat menggegerkan dunia internasional dengan menandatangani Deklarasi Bogota 1976. Mereka hendak mengklaim GSO sebagai wilayah kedaulatannya ) yang mana bertentangan dengan hukum angkasa, : yaitu tidak boleh ada klaim kedaulatan oleh negara manapun di luar angkasa.
Di tengah-tengah keberatan dunia internasional, jangan diartikan tindakan negara-negara khatulistiwa tersebut egois dan tidak beradab. Saat itu hanya segelintir negara maju yang dapat meluncurkan satelit dan mereka takut keberlakuan prinsip pada orbit ini berarti eksploitasi GSO tanpa menyisakan manfaat sedikitpun bagi negara-negara khatulistiwa yang adalah negara berkembang.
Guna menciptakan keadilan di GSO, International Telecommunication Union (ITU) memastikan ketersediaan sejumlah slot bagi negara-negara khatulistiwa. Slot tersebut dialokasikan ITU berdasarkan prinsip kegunaan dan bukan kepemilikan (), tidak dapat diperjualtbelikan, serta tidak dapat ditbiarkan menganggur lama-sekali kehilangan slot karena jangka waktu terlewat atau kadaluarsa, akan sulit memperolehnya kembali. Maka terlepas dari pertimbangan komersial, inilah yang menjadi alasan kuat bagi Indonesia untuk meluncurkan satelit ke GSO secara berkala, terakhir Satelit Telkom 3S pada Februari 2017.
Pada tahun 2002, Australia sempat berniat mendirikan Australian Spaceport dengan situs peluncuran () termutakhir di Christmas Islands. Pasca tragedi 9 September 2001, rupanya negara kangguru ini hendak tampil sebagai di Asia Pasifik. Sebagai negara berdaulat, jelas Australia bebas memilih lokasi selama masih berada di dalam jurisdiksinya. Namun, ketika bersinggungan dengan kepentingan negara lain, maka kehadiran tidak dapat dikesampingkan.
Jarak Christmas Islands dengan Jakarta kurang lebih 491 km; yakni masih dalam radius 1.000 km yang merupakan zona berisiko dalam peluncuran wahana antariksa. Realisasi rencana Australia berarti ibu kota dan jutaan rakyat Indonesia akan terancam setiap kali dilakukan peluncuran. Belum lagi ruang udara yang harus ditutup saat wahana antariksa diluncurkan. Mengingat ancaman nyata tersebut, Pasal 9 mewajibkan Australia berkonsultasi dengan Indonesia sebelum mendirikan situs peluncuran di Christmas Islands. Adalah hak Indonesia untuk menolak pembangunan tersebut guna menjamin keamanan dan perekonomian nasional. Kisah ini berakhir indah ketika Indonesia berhasil menolak proposal Australia dengan menggunakan ketentuan hukum angkasa.
sebagai bentuk langkah awal, kita telah memiliki Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang sejalan dengan tujuan, yakni pemanfaatan ruang angkasa demi kesejahteraan umat manusia. Masih banyak isu lain, seperti dan penerbangan suborbital, yang akan bersinggungan dengan kepentingan nasional serta perlu dibahas dalam waktu dekat. Saatnya membuka pintu lebih lebar bagi hukum angkasa melalui kurikulum pendidikan
sumber : https://www.hukumonline.com/