Sosiologi Hukum Evaluatif
- 19 December 2021
Sosiologi hukum ini lebih menekankan pada perspektif yang lain. Baginya, suatu perspektif eksternal tidak dapat diterima sehubungan dengan objek yang dipelajarinya. Untuk dapat mengatakan secara bermakna tentang masyarakat dan mengenal baik kaidah-kaidah yang berfungsi di dalamnya, perspektif ekternal tidak mencukupi. Hal ini memerlukan perspektif internal, yakni perspektif partisipan yang berbicara. Para sosiolog evaluatif ini lebih jauh mempersoalkan kemurnian hasil-hasil penelitian empirik. Penelitian empirik harus akrab dengan material yang hendak diteliti, yang sudah membawa keberpihakan tertentu. Hal ini menyebabkan hasil penelitian mereka tidak benar-benar murni dan objektif. Dari titik ini jelaslah bahwa sosiologi hukum ini bukan termasuk aliran positivis karena perspektifnya dekat dengan perspektif filsafat. Sosiologi hukum evaluatif ini merupakan langkah awal menuju gerbang penelitian hukum kualitatif.
Penelitian sosiologi hukum ini, misalnya tentang gejala yuridisasi, menemukan bahwa melimpahnya aturan-aturan hukum memiliki dampak sebaliknya daripada apa yang dituju. Aturan hukum yang melimpah itu justru mencekik kehidupan masyarakat karena terlalu membelenggu kreativitas dan spontatintas warga.
Sosiologi hukum ini bekerja untuk kepentingan teoritikal serta mengawasi perilaku kemasyarakatan yang timbul.
Sosiologi hukum ini lebih senang mengamati fenomena-fenoma hukum yang spesifik. Menitikberatkan pada masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations, umpamanya masalah- masalah Court room, soliciator’s office dan juri room. Hal inilah yang menjadi objek penelitian sosiologi hukum, umpanya proses-proses interaksional Organizational socializations (Bittner 1965). Sosiologi hukum ini lebih terikat dan concern dengan masalah understanding action daripada dengan masalah Observing behavior (pengamatan perilaku) dan penjelasan positivistik. Penjelasan positivistik tidak bisa lagi diterima (Silverman, 1970).
Biasanya, penelitian socio-legal bertolak dari paradigma konstruktivisme. Penelitian ini merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti untuk menemukan nilai-nilai kebenaran. Penelitian sosiologi ini tidak lagi mengkotak-kotakan bidang ilmu sosial maupun hukum, melainkan mengintegrasikannya. Penelitian sosiologi hukum ini tidak lagi melihat hukum sebagai realitas yang otonom, objektif, netral, imparsial dan dapat digeneralisasikan. Penelitian ini bertujuan untuk terus-menerus membangun atau mengkonstruksi hukum.
Pendekatan yang digunakan dalam sosiologi hukum ini, biasanya menggunakan paradigma non-Positivistik. Misalnya, menggunakan pendekatan Interpretative/verstehende. Pendekatan ini termasuk ke dalam pendekatan Fenomenologis. Dalam hal ini, peneliti sosiologi hukum berusaha untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang biasa dalam situasi tertentu. Sosiologi Fenomenologis ini, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan Alfred Scultz. Menurut Husserl, pendekatan fenomenologis cenderung mengeliminasi dunia luar (dunia yang berada di luar diri). Sebagai gantinya, ia mengkonsentrasikan diri dalam kehidupan pengalaman seseorang yang membentuk pure conciousness (kesadaran murni). Kesadaran diri tersebut merefleksikan Ego. Verstehen berarti pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Verstehen, merupakan suatu pendekatan yang berusaha mengerti makna yang mendasari peristiwa sosial dan historis. Pendekatan ini berpijak kepada ide, bahwa setiap situasi didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh sang aktor yang terlibat di dalamnya. Jadi, dengan interpretsi ini, peneliti berusaha untuk menangkap pandangan hidup (way of life). Memberi makna (meaning) pada dunia batin dan nilai. Jika pada penelitian kuantitatif lebih mengandalkan perangkat statistik untuk menganalisisnya, pada verstehen lebih mengandalkan pemahaman yang terkandung dalam dunia batin. Sikap dari pandangan hidup ini lebih bersifat humanistik. Asumsi dasar epistemologi humanistik (non-positivistik) antara lain paradigma ini menerima common sense tentang sifat manusia. Pandangan common sense dapat dan harus diperlakukan sebagai premis, dari mana perumusan ini berasal. Paradigma ini lebih mengetengahkan masalah kemanusiaan, daripada usaha untuk menggunakan preskripsi metodologi yang bersumber pada ilmu alam11.
Verstehen sebagai pendekatan dalam Sosiologi Hukum ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pendekatan ini memahami sesuatu yang biasa dalam kehidup-
an manusia sehari-hari karena tanpa interpretasi terhadap tindakan orang lain, manusia tidak bisa bertindak mengarahkan tingkah lakunnya sendiri untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Dengan pendekatan ini, manusia memiliki kemampuan menembus lapisan luar (berupa tanda), sampai pada dorongan subjektif yang melatarbelakanginya. Kemampuan ini (baik karenatidakannyadipahamimaupunyanghendakdipahaminya), kedua-duanya berada dalam lingkup pengalaman.
Untuk lebih jelasnya lihat gambaran sebagai berikut.
Sumber bacaan Buku Pengantar Hukum Sosiologi Karya Yesmil Anwar
Illustration from pinterest and belong to the owner