DEMOKRASI PARLEMENTER
- 09 December 2022
Penerapan demokrasi parlementer tersebut mengalami kegagalan, karena mengakibatkan melemahnya semangat persatuan bangsa yang telah berhasil mewujudkan kemerdekaan. Penerapan demokrasi parlementer ditandai oleh adanya dominasi parlemen dan partai-partai politik. Partai-partai politik membentuk koalisi yang sering kali menjatuhkan kabinet, sehingga mengakibatkan pemerintah tidak dapat menjalankan programnya dengan baik.
Pertumbuhan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mewawarnai segi kehidupan, terutama kehidupan politik. Ekses negatif yang tampak dalam kehidupan politik negara meliputi segi-segi: (a) kedudukan Pemerintah, dalam hal ini kabinet, sangat labil, terutama sebelum pemilihan umum 1955, (b) pemerintah belum mempuyai kesempatan yang memadai untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan secara terencana dan tuntas, (c) keputusan-keputusan politik diambil melalui perhitungan suara (voting), terutama menyangkut kebijaksanaan pemerintah dan menjadi wewenang lembaga perwakilan rakyat, (d) oposisi dijalankan dengan cara menampakkan citra negatif terhadap pemerintah dikalangan rakyat, (f) karena adanya iklim kebebasan maka dalam waktu yang relatif singkat kehidupan kepartaian tumbuh laksana jamur dimusim hujan.
Di parlemen, secara sendiri-sendiri para wakil rakyat mempuyai kedudukan yang kuat, siapa saja yang ingin mengajukan usul inisiatif, resolusi, mosi atau interpelasi, dapat memulai tindakan pribadi dengan menghimpun dukungan beberapa anggota parlemen, tidak perlu terlebih dahulu disetujui oleh induk partainya atau oleh fraksi di parlemen, tidak sedikit dari mosi-mosi ini sempat mengoyahkan Kabinet. Mosi Hadikusumo, misalnya, menjadi salah satu sebab mundurnya Kabinet Natsir. Mosi Burhanuddin Harahab menyebabkan mundurnya Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri, dan kemudian disusul pula penyerahan mandat Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada akhir tahun 1955. Karena faktor-faktor diatas dan ketidakmampuan partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsesus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, sehingga Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sekaligus mengakhiri masa demokrasi parlementer.
Referensi Dian Aries Mujiburohman (2017). Pengantar Hukum Tata Negara