SIFAT DAN HAKIKAT HUKUM INTERNASIONAL
- 21 February 2022
Jika orang pertama kali mempelajari Hukum Internasional yang menjadi pertanyaan adalah apakah Hukum Internasional mempunyai sifat hukum? Pertanyaan itu diajukan karena dalam mempelajari Hukum Internasional akan berhadapan dengan prinsip-prinsip dan sifat khusus dari Hukum Internasional. Pertanyaan yang akan diajukan kemudian adalah apakah ada badan yang menciptakan hukum sebagaimana halnya badan legislatif dalam hukum nasional. Apakah ada hierarki peradilan yang mempunyai yurisdiksi memaksa (compulsory jurisdiction) terhadap sengketa yang timbul dan para pihak menerimanya sebagai putusan yang mengikat. Apakah ada badan eksekutif yang mempunyai kewenangan memaksa dan adanya penegak hukum?
Dalam sistem Hukum Internasional tidak mempunyai badan legislatif yang produk hukumnya mengikat. Meskipun ada Majelis Umum dalam rangka PBB, namun resolusi PBB tidak otomatis mengikat negara anggota. Hukum Internasional tidak mempunyai sistem pengadilan yang putusannya mengikat pihak yang bersengketa. Memang dalam rangka PBB ada ICJ tapi untuk beperkara di ICJ ada persyaratan tertentu, misalkan hanyanegara yang dapat beperkara di depan ICJ (Pasal 34 (1) Statuta ICJ) dan mereka harus ada kesepakatan untuk menyerahkan perkaranya di ICJ Pasal 36 (2). Tidak ada badan eksekutif atau pemerintahan pusat sebagaimana halnya negara. Karena kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Hukum Internasional itu maka seorang filosof Inggris John Austin kembali ke abad 19 tentang teori hukum mengatakan: law based upon the notion of a sovereign issuing a command backed by a sanction or punishment35. Jika Hukum Internasional tidak sesuai dengan definisi tersebut maka Hukum Internasional bukan bersifat hukum hanya dikategorikan sebagai ”positive morality”. Menurut Mochtar Kusumaatmadja yang juga mengutip pendapat Austin memberikan definisi sebagai berikut: Every law or the rule (taken with the largest signification which can be given to the term properly) is a command ....” Menurut dia Hukum Internasional itu bukan hukum dalam arti yang sebenarnya (properly so called), ia menempatkan segolongan dengan the laws of honour dan the laws by fashion sebagai rules of positive morality.
Pendapat yang tidak menerima bahwa Hukum Internasional itu mempunyai sifat hukum karena tidak melihat pada kenyataan bahwa hukum tidak ditentukan oleh adanya badan-badan tadi. Walaupun harus diakui bahwa dengan adanya lembaga-lembaga tadi hukum dapat ditegakkan secara efektif, tetapi tidak berarti bahwa tidak adanya badan-badan tadi maka Hukum Internasional tidak bersifat hukum. Jadi harus dibedakan antara efektivitas hukum dan sifat hukum.
Tidak adanya badan legislatif pusat oleh masyarakat internasional diisi oleh adanya perjanjian-perjanjian antara mereka yang mengikat mereka. Juga adanya kebiasaan-kebiasaan internasional yang merupakan praktek negaranegara yang dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional.
Di dalam Hukum Internasional tidak ada sangsi yang dapat dipaksakan sebagaimana halnya dalam hukum nasional. Memang di dalam sistem PBB ada sangsi yang dapat dipaksakan melalui resolusi Dewan Keamanan terhadap yang melakukan pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Atau melakukan agresi. Penjatuhan sangsi melalui sistem PBB ini masih harus mendapat kesepakatan dari lima anggota tetap Dewan Keamanan. Demikian pula dalam sistem Hukum Internasional sebagaimana yang dikemukakan di atas tidak ada pengadilan yang mempunyai kewenangan memaksakan yurisdiksinya sebagaimana dalam sistem hukum nasional.
Tidak adanya badan legislatif, badan penegakan hukum atau badan peradilan tidak mengurangi sifat hukum dalam Hukum Internasional karena Hukum Internasional mempunyai mekanismenya sendiri untuk menutupi kekurangan tersebut.
Sebagian besar dari Hukum Internasional dirumuskan dalam pengertian hukum yang jelas dan untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu untuk hal ini bahwa pelaksanaan Hukum Internasional tidak memerlukan suatu tindakan pelaksanaan secara khusus. Sebagian besar dari kasus-kasus di mana peraturan dalam Hukum Internasional sebenarnya dilanggar, tetapi memberikan kemungkinan membayar kompensasi pada negara yang dirugikan akibat tindakan yang disengaja atau secara tidak sengaja, atau sebagai akibat dari putusan pengadilan.
Dengan demikian sebagian besar dari peraturan-peraturan Hukum Internasional pada umumnya tidak terpengaruh dari kelemahan sistem pelaksanaannya. Masalah-masalah pelaksanaan Hukum Internasional mengikuti arah kekuatan kepentingan bangsa tertentu, dalam hal ini lebih dipertimbangkan kekuasaan selain dari keputusan hukum. Jadi di sini faktor kekuasaan (power politics) lebih menentukan.
Fitzmaurice dalam karangannya The foundations of the Authority of International Law and the Problem of Enforcement bahwa pelaksanaan dari sistem Hukum Internasional seperti halnya dalam setiap sistem hukum, merupakan hal yang penting dan bahwa Hukum Internasional mempunyai sifat ini. Selanjutnya Fitzmaurice mengutip pendapat Kelsen ... international law is true law because, broadly speaking, it provides sanctions, such as the adoption of reprisals, war and the use of force generally, and make the employment of these sanctions lawful as a counter-measure against a legal wrong, but unlawful in all other cases. Jadi menurut Kelsen Hukum Internasional adalah hukum karena Hukum Internasional mempunyai sanksi seperti pembalasan (reprisals), perang atau penggunaan kekerasan sebagaikewenangan dasar Hukum Internasional sama dengan kewenangan negara sebagai anggota masyarakat internasional mengakui Hukum Internasional sebagai norma yang mengikat, dan mengakui sebagai suatu sistem secara ipso facto mengikat mereka sebagai anggota masyarakat internasional terlepas dari kemauan sendiri-sendiri dari negara.
Prof. Dr. Sri Setianingsih, S.H., M.H.