Politik Lokal Sebelum Reformasi
- 29 May 2022
Baru pada masa presiden Soekarno, penataan sistem administrasi berdasarkan model birokrasi monocratique dilakukan dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan yang berdasarkan pada ideologi demokrasi terpimpin. Soekarno melakukan kebijakan apa yang disebut dengan retoolling kabinet, dimana ia mengganti para pejabat yang dianggap tidak loyal. Dengan Dekrit Presiden No. 6 Tahun 1960, Soekarno melakukan perombakan sistem pemerintahan daerah yang lebih menekankan pada aspek efisiensi dan kapasitas kontrol pusat terhadap daerah.
Model birokrasi monocratique dalam administrasi diteruskan oleh Soeharto. Awal tahun 1970an, pemerintah orde baru melakukan reformasi administrasi yang bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang tanggap, efisien dan apoltik. Hal ini dilakukan melalui larangan pegawai negeri berpolitik dan kewajiban pegawai negeri untuk mendukung partai pemerintah. Upaya ini dilakukan sebagai reaksi dari perkembangan birokasi di akhir era Soekarno yang diwarnai oleh politisasi birokrasi. Di samping itu Soeharto menerbitkan dua buah kebijakan yang sangat penting dalam sistem administrasi waktu itu. Pertama adalah Keppres no 44 dan no 45 tahun 1975 yang masing masing mengatur tentang susunan tugas pokok dan fungsi Departemen dan LPND. Melalui peraturan tersebut diatur standarisasi organisasi Departemen dan menjadi dasar hukum bagi pembentukan instansi vertikal di daerah. Produk kebijakan yang kedua adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Dalam peraturan tersebut, pemerintah daerah disusun secara hirarkis terdiri dari pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II. Di samping itu setiap daerah memiliki status sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah kerja pemerintah. Sebagai implikasinya Kepala daerah diberikan jabatan rangkap yaitu sebagai Kepala Daerah otonom dan wakil pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan untuk menciptakan efisiensi dan penguatan kontrol pusat kepada daerah.
Berakhirnya pemerintahan Orde Baru mendorong munculnya pendekatan society-centered public administration, dimana administrasi publik merupakan sarana bagi pemerintahan yang demokratis untuk menyelenggarakan kekuasaannya berdasarkan kedaulatan rakyat. Berbeda dengan masa sebelumnya dimana kedaulatan negara lebih menonjol, sejak reformasi 1999 kedaulatan rakyat menjadi kata kunci dalam penyelenggaraan administrasi. Negara bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya aktor yang secara ekslusif berperan dalam mencapai tujuan nasional. Dalam era reformasi, sistem demokrasi menuntut adanya kekuasaan yang terdesentralisir dimana masing-masing komponen memiliki otonomi relatif terhadap komponen yang lain dengan maksud agar tidak ada satupun elemen dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dapat mendominasi kelompok yang lain. Sebagai konsekuensinya negara merupakan hanya salah satu mekanisme yang bersandingan dengan mekansime pasar (private sector) dan mekanisme sosial (civil-society) untuk memecahkan masalah pelayanan publik. Administrasi merupakan sarana koordinasi dari negara, masyarakat dan dunia usaha untuk mencapai tujuan nasional.
Hal ini sebagaimana kita lihat dalam praktik administrasi pada era reformasi. Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia tahun 1997 menjadi pendorong perubahan besar dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Melalui Tap MPR no XV Tentang Pokok Pokok reformasi pemerintah era reformasi dituntut untuk melakukan penataan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan bersih dari KKN. Perubahan tersebut secara formal dituangkan dalam empat perubahan (amandemen) UUD 1945. Hasil dari amandemen tersebut merubah secara mendasar sistem pemerintahan di Indonesia. Perubahan penting yang perlu dicatat dalam hal ini adalah pertama, perubahan kedudukan MPR yang bukan lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Sebelumnya MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mewakili seluruh komponen bangsa baik dari kelompok politik, daerah dan fungsional. Berakhirnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara diikuti dengan perubahan Presiden yang bukan lagi menjadi mandataris MPR, tetapi merupakan Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara yang dipilih langsung oleh rakyat. Perubahan tersebut dimaksud untuk menciptakan sistem check and balance. Kedua, perubahan amandemen IV mendorong terciptanya sistem yang terdesentralisir. Pada desain UUD 1945 naskah asli, disebutkan bahwa di tangan Presiden terkonsentrasikan seluruh kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan “concentration of power upon president”. Namun dengan amandemen ke-IV, pemerintahan menjadi terdesentralisir. Hal ini terlihat dari pembatasan kekuasaan presiden, yang harus berbagi kekuasaan dengan DPR dan berbagai lembaga negara lainnya. Pada tataran hubungan pusat dan daerah, amandemen konstitusi mengatur pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Amandemen IV menciptakan konfigurasi sistem administrasi yang pembangunan sistem administrasi negara di era reformasi. Ketidakjelasan arah dan fokus dalam membangun sistem administrasi negara Indonesia di era reformasi ini akan menjadi penghambat besar dalam menciptakan sistem administrasi negara yang tangguh berhadapan dengan tuntutan perbaikan kinerja pemerintah maupun tantangan persaingan global di tingkat internasional.
Setiap perubahan selalu ditandai dengan ketidakpastian. Beberapa masalah yang muncul dalam perubahan tersebut terutama adalah masalah korupsi, ancaman integrasi nasional, dan buruknya pelayanan publik.
Reformasi telah berjalan selama lebih dari satu dasawarsa, namun nampaknya reformasi belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Menurut riset yang dilakukan oleh World Bank antara tahun 1996 hingga 2007 tentang mutu penyelenggaraan pemerintahan (governance), reformasi di Indonesia menunjukkan hasil yang belum menggembirakan.
Partisipasi dan akuntabilitas pemerintah yang menunjukkan perbaikan signifikan. Untuk indikator yang lain, tata penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan hasil di bawah kondisi tahun 1996. Ini artinya bahwa kinerja pemerintah pada era reformasi adalah masih ada di bawah masa orde baru yang sering menjadi sasaran kritik oleh para pendukung reformasi.
Tahun 2008 IPK Indonesia berada diurutan ke-126 dengan skors. 2,6, atau naik sekitar 0,3 dibandingkan IPK 2007 lalu. Tahun lalu bahkan merosot dari 2,4 di tahun 2006, menjadi 2,3 di tahun 2007. Tetapi Indonesia masih merupakan 71 negara yang indeksnya dibawah 3. Demikian halnya dengan hasil survei PERC tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara nomor tiga terkorup di Asia.
Masalah yang lain adalah problem integrasi. Sejak pemberlakuan kebijakan otonomi daerah, ancaman terhadap integrasi semakin menguat. Hal ini terlihat dari tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI, tuntutan pemekaran darah yang didorong oleh motif primordialisme dan sebagainya. Dalam proses pemekaran tersebut para pegawai negeri bahkan menjadi salah satu aktor pendukung utamanya.
Dalam hubungan dengan masyarakat, reformasi menyisakan masalah dimana masyarakat belum merasakan adanya manfaat yang jelas terutama dalam pelayanan publik. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset menunjukkan bahwa pemerintah masih belum secara sungguh-sungguh berupaya melakukan perbaikan dalam pelayanan. Penelitian UGM (2003) melihat bahwa masalah utama dari buruknya pelayanan publik adalah disebabkan masih rendahnya profesionalisme pegawai.
Dinamika politik lokal di Indonesia sepanjang tahun setelah era reformasi menunjukan potret kelabu karena masing- masing penguasa di daerah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya tidak memerhatikan batas-batas wewenang yang dimilikinya. Masyarakat dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Berbagai bentuk pajak dan retribusi ditarik oleh penguasa, dengan tujuan untuk menambah pendapatan asli daerah yang terkadang dialokasikan kepada belanja daerah yang tidak jelas dan terlihat tidak bertanggungjawab.
Perlakuan tersebut tidak manusiawi karena penguasa hanya mementingkan persoalan yang menyangkut kepentingan pemerintah pusat tanpa memerhatikan tujuan pemerataan dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Persoalan tersebut menimbulkan perlawanan dari citizen karena telah terbentuknya hasrat pembangkangan sipil akibat kejenuhan terhadap perlakuan yang mereka terima dari penguasa. Citra dan peran tersebut terbangun karena adanya pembelaan dari para local strongmen terhadap kepentingan citizen yang tertindas, walau dari cara pandang yang berbeda di pihak penguasa.
Politik lokal di Indonesia semakin dinamik setelah proklamasi kemerdekaan, ketika kekuatan masyarakat mulai merembes masuk ke lembaga-lembaga formal. Keadaan ini merupakan legasi positif dari rancangan kolonial belanda untuk menyediakan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat di dalam kancah perpolitikan dalam konteks implementasi politik etis. Pada masa orde lama kebebasan berpolitik masih mendapatkan tempat yang layak walaupun tidak boleh terlalu jauh dari pemikiran sang proklamator (Soekarno).
Setelah orde lama berakhir, maka Indonesia memasuki masa orde baru dimana Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia yang ke dua berkuasa selama 30an tahun. Pada masa itu sistem politik pada tingkat pusat maupun lokal sangat terkontrol oleh pusat kuasa di Jakarta. Akibatnya, badan eksekutif dan legislatif di kabupaten, kota dan provinsi terkunci dalam hegemoni Jakarta. ini terjadi karena posisi pejabat tinggi di daerah pada dasarnya di tentukan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri ) yang memiliki kewenangan dan kepentingan mengendalikan kekuasaan elit di tingkat lokal.
Kontrol tidak hanya dilakukan dari Jakarta pada lembaga sipil pemerintahan di daerah saja, tetapi dilaksanakan juga pada lembaga kemiliteran. Agar lembaga kemiliteran mudah untuk dikendalikan, maka elit politik pusat terus memberikan hadiah untuk para perwira aktif maupun purnawirawan yang setia dan tetap mau tunduk kepada arahan pemerintah pusat dengan memberikan mereka kursi di legislatif maupun birokrasi di daerah.
Namun mekanisme bagi-bagi hadiah kepada tentara aktif dan purnawirawan di daerah membawa efek yang kurang baik karena para tentara yang diberikan posisi di lembaga eksekutif maupun legislatif di daerah tidak sedikit di antara mereka yang telah membentuk kekuasaan pribadi. Pembanguanan kuasa ini dapat dengan mudah dilakukan karena para tentara tersebut pernah bertugas di tempat tersebut bahkan dalam waktu yang cukup lama. Bagi para perwira yang telah sadar, maka bisa saja mereka memikirkan banyak tentang kesejahteraan rakyatnya, akan tetapi bagi perwira yang hanya mementingkan ambisi pribadinya saja, sudah barang tentu akan melakukan tindakan yang tidak bermoral dan tentunya menyengsarakan rakyatnya.
Di Indonesia, keberadaan Local strongmen yang dihimpun pada masa orde baru telah membentuk organisasi kemasyarakatan yang dikenal dengan pemuda pancasila (memiliki hubungan erat dengan rezim) muncul dengan sangat subur. Kelompok local strongmen seperti ini merupakan broker politik yang dapat menghasilkan segala cara sehingga memungkinkan untuk menyediakan banyak kekuatan yang dibutuhkan oleh para birokrat untuk menghentikan aksi demonstrasi yang menolak kebijakan pemerintah pusat.
Keberadaan preman semi-resmi seperti pemuda pancasila pada masa orde baru sangat dirasakan perlu oleh para elit politik lokal, khususnya untuk menjamin ketenangan politik dan yang terpenting adalah untuk memastikan bahwa partai Golkar tetap berkuasa. Para elit politik lokal akan mendapat bantuan sumberdaya ekonomi yang sangat berlebih dari pemerintah pusat seperti pemberian subsidi, kontrak dan lainya yang memiliki nilai positif terhadap kekayaan mereka; termasuk upaya mempertahankan kekuasaan. Sebagai contoh, berbagai program yang merupakan instruksi dari presiden untuk membiayai kebutuhan sekolah dasar, kesehatan masyarakat, pasar dan fasilitas umum lainnya telah di manfaatkan dengan sangat baik oleh para elit politik lokal untuk meningkatkan dan menciptakan kesempatan untuk memperkaya diri.
Refrensi Bacaan Buku Reformasi Birokrasi Di Nusantara Karya Prof. Dr. Soesila Zauhar, Ms