Konversi Hak-hak Adat ke dalam UUPA
- 29 December 2021
Konversi adalah penyesuaian hak-hak lama, dalam hal ini hak-hak atas berdasarkan Hukum Adat, ke dalam Sistem Hukum Tanah Nasional yang berdasarkan UUPA. Dalam Hukum Adat, differensiasi hak atas tanah (yang bersifat individual) terdiri atas Hak Milik dan Hak Pakai. Pengaturan dasar konversi tanah-tanah adat (individual) ini dapat ditemukan pada Pasal II, VI, dan
VII Ketentuan Konversi dalam UUPA.
Perlu ditegaskan bahwa konversi ini berlaku secara hukum. Artinya, ketika UUPA berlaku di tempat tanah itu berada, maka konversi itu telah berlangsung secara hukum, tanpa perbuatan hukum tertentu dari otoritas keagrariaan/pertanahan. Oleh karena itu, secara terminologis yuridis dari tanahtanah milik adat itu, sejak UUPA berlaku menjadi Hak Milik Bekas Hak Milik Adat.
Pasal II Ketentuan Konversi UUPA secara tegas menyatakan:
1. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
Sekiranya hak-hak milik adat itu dipunyai oleh WNA, WN yg berkewarganegaan rangkap, dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (2), maka Hak Milik Adat itu dikonversi menjadi Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan, tergantung peruntukan tanahnya dan penegasan lebih lanjut oleh Menteri Agraria (sekarang Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN). Demikian Pasal II ayat (2) Ketentuan Konversi UUPA. Sesungguhnya, sebagian ketentuan Pasal II ayat (2) Ketentuan Konversi UUPA ini bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang terdapat dalam UUPA. Oleh karena, menurut UUPA, orang asing (WNA) tidak boleh sebagai subjek HGU atau HGB.
Ditambahkan, Pasal VII ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA, bahwa Hak Gogolan, Pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya UUPA ini, menjadi Hak Milik berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA.
Selanjutnya, hak-hak adat atas tanah yang isi dan sifatnya sama atau mirip dengan Hak Pakai berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA, dikonversi menjadi Hak Pakai sebagaimana Pasal 41 ayat (1) UUPA. Lengkapnya, Pasal VI Ketentuan Konversi UUPA menyatakan:
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undangundang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuak, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Demikian pula Pasal VI ayat (2) Ketentuan Konversi UUPA, menyatakan bahwa Hak Gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap dikonversi menjadi Hak Pakai sebagaimana Pasal 41 ayat (1) UUPA. Jika ada keragu-raguan apakah merupakan hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan (Pasal VII ayat (3) Ketentuan Konversi UUPA).
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014
Writer: Nazila Alvi Lisna, Yuriska
FOLLOW OUR SOCIAL MEDIA:
Ig : @sayapbening_official
Yt : Sayap Bening Law Office